Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan Seminar Rabuan dengan topik: “Optimalisasi Rekam Medis Elektronik: Teknologi, Keamanan, dan AI untuk Pengambilan Keputusan Klinis”, yang akan dilaksanakan pada:

Hari: Rabu, 21 Mei 2025
Pukul: 10.00 – 12.20 WIB

Join Zoom Meeting:
s.id/rabuan210525
Meeting ID: 924 2460 9586
Pascscode: 162937

Live Streaming
Kanal Pengetahuan
FKKMK UGM
ugm.id/kanalytlive

Narasumber :
1. Haidar Istiqlal, S.Kom., MARS (Kementerian Kesehatan republik Indonesia)
2. Yusuf Afandi, ST (Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)
3. Prof. dr. Hari Kusnanto Josef, Sp. KKLP, Dr.PH (Rektor Universitas Respati Yogyakarta)
4. Annisa Ristya Rahmanti, MS, PhD, Dietisien (Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM)

Moderator :
Dr. dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfo (Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM)

Catatan:
•⁠ ⁠Harap menggunakan nama asli, bukan nama perangkat atau alias.
•⁠ ⁠⁠Pastikan koneksi internet stabil.

Reportase

Penggunaan Dan Pemanfaatan Penilaian Kematangan Digital (DMI) Pada Tingkat Primer
“Kematangan Digital Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer dan Integrasi Rekam Medis Elektronik”

18 Maret 2025

Pada Selasa, (18/03/2025) telah diselenggarakan Webinar Penggunaan dan Pemanfaatan Penilaian Kematangan Digital atau Digital Maturity Index (DMI) pada tingkat Layanan primer dengan tema “Kematangan Digital Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer dan Integrasi Rekam Medis Elektronik”. Acara ini diadakan secara daring dan dihadiri oleh berbagai tenaga kesehatan dan manajemen faskes di Indonesia yang meliputi pengelola dan pengguna Rekam Medis Elektronik (RME) dan Sistem Informasi di fasilitas pelayanan kesehatan primer dengan jumlah peserta sebanyak ± 190 peserta.
Sejalan dengan pilar ketiga SDGs yang berfokus pada menjamin kesehatan dan kesejahteraan bagi semua individu di semua usia, webinar “Penggunaan dan Pemanfaatan Penilaian Kematangan Digital atau Digital Maturity Index (DMI) di Tingkat Layanan Primer” oleh Departemen Manajemen dan Kebijakan Kesehatan yang berkolaborasi dengan Asosiasi Perguruan Tinggi Rekam Medis dan Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia (APTIRMIKI), bertujuan untuk mengevaluasi tantangan dan prioritas penerapan sistem informasi manajemen pelayanan kesehatan primer dan rekam medis elektronik di pelayanan kesehatan primer dalam mendukung transformasi digital di Indonesia.

Acara seminar diawali dengan sambutan oleh Bapak Dian Budi Santoso, S.KM, MPH, selaku Ketua umum APTIRMIKI. Ibu Tiomaida memaparkan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk memberikan wawasan dan pemahaman kepada peserta tentang penilaian kematangan digitaldinas kesehatan . Acara ini sangat penting dan menjadi fokus utama yang mendukung Transformasi kesehatan. Digitalisasi tidak hanya berbicara tentang teknologi tetapi juga adanya perubahan budaya dan kapasitas sumber daya dalam mencapai kematangan digital RME pada masing – masing Dinas Kesehatan. Ia juga menyampaikan bahwa acara ini menghadirkan narasumber yang ahli di bidangnya dan adanya dukungan dari USAID CHISU, PORMIKI dan UGM. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan agar mampu mengetahui strategi untuk menilai kematangan digital dan strategi untuk meningkatkan kematangan digital.

Pada sesi pemaparan materi, diawali oleh Dr. dr. Guardian Y Sanjaya, Mhlthinfo, Dosen dan Peneliti di Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Universitas Gadjah Mada. Dr. Guardian menekankan Penilaian Kematangan Digital dan Transformasi Kesehatan Layanan Primer terutama dalam konteks interoperabilitas RME, strategi digitalisasi kesehatan, serta konsekuensi implementasi digital health. Dr. Guardian memaparkan bahwa digitalisasi layanan primer sangat diperlukan untuk meningkatkan akses, kesinambungan layanan, serta efisiensi dalam sistem kesehatan. Digitalisasi dalam pelayanan kesehatan juga terkait dengan implementasi Rekam Kesehatan Elektronik (RKE). RKE berfungsi dalam menyimpan data pasian sehingga perlu dibekali dengan sistem kebijakan yang mampu memastikan data pasien terdokumentasi dengan aman dan dapat digunakan secara efektif untuk pengambilan keputusan klinis. Transformasi digital yang memiliki tantangan dalam aspek keamanan data, interoperabilitas, serta kesiapan SDM kesehatan dalam memanfaatkan teknologi, memperlihatkan perlunya dilakukan Penilaian Kematangan Digital yang bertujuan untuk melakukan evaluasi kematangan digital di layanan primer guna memastikan kesiapan fasilitas kesehatan dalam mengadopsi sistem digital secara efektif.

Selanjutnya, pada sesi narasumber yang kedua berbagi tentang “Dimensi Kesiapan dan Literasi Kesehatan Digital dalam Mendukung Implementasi Teknologi Digital di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer” oleh Dian Budi Santoso, S.KM, MPH, selaku Ketua Umum APTIRMIKI. Dian Budi Santoso menyampaikan pentingnya kesiapan literasi di fasilitas pelayanan kesehatan primer (FKTP) dalam menghadapi transformasi digital. FKTP yang mencakup puskesmas, klinik pratama, serta praktik mandiri tenaga medis dan kesehatan, menjadi garda terdepan dalam layanan kesehatan masyarakat. Berdasarkan data terbaru, kematangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di FKTP Indonesia telah melampaui tingkat dasar dan menunjukkan potensi besar untuk terus ditingkatkan. Dalam mewujudkan digitalisasi layanan, terdapat tujuh dimensi kesiapan yang harus diperhatikan, yakni: core/need readiness, engagement readiness, technological readiness, societal readiness, learning readiness, policy readiness, serta acceptance and use readiness. Setiap dimensi mencerminkan kesiapan baik dari sisi infrastruktur, regulasi, sumber daya manusia, maupun penerimaan masyarakat terhadap teknologi. Selain itu, literasi kesehatan digital menjadi faktor kunci dalam memastikan keberhasilan implementasi teknologi ini, terutama dalam konteks aksesibilitas dan pemahaman masyarakat terhadap layanan berbasis digital. Dukungan regulasi seperti UU Kesehatan, UU Pelindungan Data Pribadi, dan Permenkes terkait rekam medis, Indonesia memiliki fondasi yang kuat untuk mendorong adopsi teknologi digital di sektor kesehatan secara menyeluruh.

Ibu Kori Puspita Ningsih, A.Md., S.KM., M.K.M., FISQua sebagai narasumber ketiga menyampaikan terkait “Kemampuan Teknologi Digital dalam Meningkatkan Mutu Layanan Fasilitas Kesehatan Primer”. Ibu Kori Puspita Ningsih menekankan urgensi pemanfaatan teknologi digital sebagai fondasi peningkatan mutu layanan. Isu-isu global seperti akses universal terhadap layanan kesehatan, pemanfaatan AI dan big data, serta perlindungan data pasien menjadi latar belakang pentingnya transformasi ini. Di Indonesia, sistem kesehatan yang belum terintegrasi masih menjadi tantangan utama yang memperberat beban kerja petugas kesehatan. Melalui kebijakan transformasi digital, Kementerian Kesehatan meluncurkan platform SATUSEHAT sebagai sistem rekam medis elektronik terintegrasi yang menghubungkan seluruh ekosistem layanan. Digitalisasi juga diwujudkan melalui integrasi aplikasi seperti SIMPUS, ASIK, dan WhatsApp untuk mendukung pencatatan layanan dalam dan luar gedung, seperti Posyandu dan kunjungan rumah. Kendati demikian, tantangan masih ada, mulai dari infrastruktur yang belum merata, keterbatasan SDM, hingga isu privasi data. Untuk mengatasinya, strategi seperti peningkatan infrastruktur, pelatihan berkelanjutan bagi tenaga kesehatan, serta penerapan kebijakan perlindungan data menjadi solusi utama. Sinergi teknologi dan kebijakan, layanan kesehatan primer diharapkan mampu menjadi lebih efektif, efisien, dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat sepanjang siklus hidup.
Pemaparan terakhir disampaikan oleh Bapak Rohmadi, M.Kom yang menekankan “Pentingnya Ketersediaan Infrastruktur Sistem Informasi dan Keamanan Data sebagai Pondasi Utama dalam Mendukung Penerapan Rekam Medis Elektronik (RME) yang Interoperable Dan Aman Di Layanan Kesehatan Primer”. Ia menjelaskan bahwa kebijakan nasional, PMK No. 24 Tahun 2022 tentang penerapan RME dan peluncuran platform SATUSEHAT, menjadi acuan utama transformasi digital kesehatan di Indonesia. Namun, tantangan besar masih dihadapi, termasuk kesiapan infrastruktur teknologi informasi (TI), kualitas jaringan, dan aspek keamanan data. Dalam konteks puskesmas, peralatan standar seperti router dengan fitur firewall, switch managed, server untuk penyimpanan data, hingga sistem backup dan monitoring sangat diperlukan agar layanan digital berjalan stabil dan aman. Interoperabilitas sistem juga menjadi kunci suksesnya penerapan RME. Bapak Rohmadi menekankan perlunya penerapan standar komunikasi data seperti HL7, FHIR, DICOM, LOINC, dan SNOMED CT agar sistem RME dari berbagai fasilitas kesehatan dapat berkomunikasi secara aman dan efisien. Selain itu, keamanan data menjadi perhatian serius mengingat tingginya risiko seperti kebocoran data, akses tidak sah, serangan siber, hingga kegagalan perangkat keras. standar keamanan internasional seperti ISO 27001:2013 menjadi acuan dalam menjamin perlindungan data pasien. Keamanan tambahan seperti enkripsi data, autentikasi multi-faktor, kontrol akses berbasis peran (RBAC), serta audit log monitoring juga dibutuhkan untuk menjaga integritas dan kerahasiaan informasi. Dengan dukungan infrastruktur yang memadai dan keamanan data yang kuat, transformasi digital di layanan kesehatan primer dapat berjalan lebih optimal dan berkelanjutan.

Dalam sesi tanya jawab, peserta menyoroti ketimpangan digitalisasi antara Puskesmas di kota dan daerah terpencil. Dr. Guardian Yoki Sanjaya menjelaskan bahwa penilaian kematangan digital masih terbatas, seperti di Bantul, dan bersifat self-assessment dengan instrumen berbeda antara FKTP dan FKTL. Isu interoperabilitas data juga dibahas, khususnya pentingnya pertukaran data yang dua arah dan akurat antara layanan primer dan rumah sakit. Sistem seperti PIKIN dari BPJS menjadi contoh awal integrasi, meski belum menyeluruh. Peserta lain menyoroti tantangan literasi digital masyarakat dan keterbatasan infrastruktur di daerah. Digitalisasi tetap dinilai efisien, terbukti dari rumah sakit yang menghemat hingga Rp1,2 miliar. Peserta menekankan perlunya pemetaan infrastruktur dan keamanan data, yang bisa didukung oleh akademisi melalui inovasi. Selanjutnya juga dijelaskan bahwa sistem log mampu mendeteksi aktivitas mencurigakan dan integrasi sistem sebaiknya menggabungkan interoperabilitas dan redundancy data demi keamanan dan kesinambungan layanan.
Materi webinar dapat diakses melalui link : https://bit.ly/MateriWebinarDMIPrimer2025

Penyelenggara Acara : Sistem Informasi Kesehatan, Health Policy and Management, FK-KMK UGM
Reporter : Putri Ardhani

Reportase

Penggunaan dan Pemanfaatan Penilaian Kematangan Digital (DMI) pada Rumah Sakit

Pada Kamis, (24/10/2024) telah diselenggarakan Webinar Penggunaan dan Pemanfaatan Penilaian Kematangan Digital atau Digital Maturity Index (DMI) di Rumah Sakit. Acara ini diadakan secara daring dan dihadiri oleh berbagai pengelola dan penguna Rekam Medis Elektronik (RME) dan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIMRS) dengan jumlah peserta sebanyak ± 2.000 peserta.
Sejalan dengan pilar ketiga SDGs yang berfokus pada menjamin kesehatan dan kesejahteraan bagi semua individu di semua usia, webinar “Penggunaan dan Pemanfaatan Penilaian Kematangan Digital atau Digital Maturity Index (DMI) di Rumah Sakit” oleh Departemen Manajemen dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK UGM) yang berkolaborasi dengan Pusat Data Indonesia Kementrian Kesehatan RI, CHISU, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), bertujuan untuk mengevaluasi tantangan dan prioritas penerapan sistem informasi manajemen rumah sakit dan rekam medis elektronik di rumah sakit dalam mendukung transformasi digital di Indonesia.

Acara seminar diawali dengan sambutan oleh Ibu Tiomaida Seviana H.H., S.H., MAP selaku Ketua Kepala Pusat Data Indonesia (Pusdatin) Kementrian Kesehatan RI. Ibu Tiomaida memaparkan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk mendukung Transformasi Kesehatan Digital melalui digitalisasi Rekam Medis Elektronik (RME) di rumah sakit yang nantinya mampu meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan rumah sakit. Digitalisasi tidak hanya berbicara tentang teknologi tetapi juga adanya perubahan budaya dan kapasitas sumber daya dalam mencapai kematangan digital RME pada masing – masing rumah sakit. Selain itu, kegiatan webinar ini juga bertujuan untuk menyamakan persepsi antar rumah sakit terkait bagaimana pengisian DMI seharusnya dilakukan dalam fasilitas pelayanan kesehatan yaitu rumah sakit yang nantinya dapat meningkatkan kualitas pelayanan.

Pada sesi pemaparan materi diawali oleh Dr. dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfoDosen dan Peneliti di Departemen Health and Policy Management, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawaran, Universitas Gadjah Mada. Dalam pemaparannya, dr. Guardian menjelaskan bahwa guna mencapai transformasi kesehatan digital, Kementrian Kesehatan memiliki 9 rencana strategis dimana salah satunya adalah persentase fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi kematangan digital (digital maturity) tingkat rumah sakit sehingga seluruh fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit wajib mengadopsi teknologi digital.

dr. Guardian menyampaikan beberapa hal pentingnya dilakukan penilaian kematangan digital di rumah sakit. Dikatakan bahwa penilaian DMI rumah sakit berguna untuk menilai seberapa baik penggunaan teknologi digital untuk meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan medis di fasyankes, membuat rekomendasi prioritas pengembangan kesehatan digital, roadmap implementasi kesehatan digital, rencana investasi kesehatan digital, identifikasi kendalam implementasi kesehatan digital, dan benchmarking adopsi inovasi digital. Dr. Guardian juga menyampaikan bahwa dalam implementasinya masih terdapat adanya tantangan seperti tingginya biaya untuk membeli sistem RME, minimnya staf IT yang memadai, keamaan data dan gangguan dalam perawatan selama penerapan.

Selanjutnya, pada sesi narasumber yang kedua berbagi tentang “Manajemen sumber daya dan Penggunaan teknologi informasi untuk mendukung penerapan RME yang interoperable dan aman di rumah sakit” oleh dr. Agus Mutamakin, M.Sc, selaku kompartemen data dan informasi PERSI. dr. Agus menjelaskan bahwa melalui DMI, rumah sakit dapat melakukan penilaian posisi dalam tahapan transformasi, membuat tujuan dan rencana jangka pendek dan panjang, serta investasi proyek transformasi yang dapat memberikan dampak yang signifikan. Dalam pelaksanaanya, rumah sakit seharusnya membantuk tim yang terditi dari manajemen, IT dan klinis guna melakukan asesmen DMI.

Dalam penjelasannya, dr. Agus juga menguraikan 7 tahapan adopsi RME mulai dari 0 yang artinya belum adanya penerapan RME. Tahap 1 sudah ada RME namun terbatas pada regirtrasi kunjungan pasien, pencatatan tindakan medis dan diagnosa. Tahap 2 adanya penambahan dokumentasi klinis teks dan peresepan obat. Kemudian tahap 3 terdapatnya dokumentasi klinis terstruktur, laporan tindakan medis dan dispense obat. Tahap 4 adopsi RME cukup komplek dengan adanya tambahan fitur orfer tindakan penunjang, SI penunjang medis dan pendukung keputusan klinis sederhana. Tahap 5 yaitu adanya pencatatan pemberian obat dan PACS. Tahap 6 yaitu adanya dokumentasi klinis template terstruktur dan pendukung keputusan klinis lanjut, kemudian yang paling tinggi yaitu tahap 7, rumah sakit telah mencapai RME yang paripurna dan mampu menerapkan analitik data klinis.

Poentoro, S.Si., M.Kom sebagai narasumber ketiga menyampaikan terkait arsitektur sistem informasi, infrastruktur komunikasi data elektronik. Terdapat tiga hal penting dalam perencanaan dan pelaksanaan SIMRS-RME diantaranya yaitu software yang kemudian lebih dikenal dengan sistem informasi dan infrastruktur TIK, hardware dan network serta brainware. Mengingat kompleksnya proses bisnis rumah sakit, maka arsitektur minimal dan variabel SIMRS yang wajib ada di rumah sakit guna mengakomodir kebutuhan informasi yaitu adanya front office untuk kegiatan registrasi dan pembayaran, back office yang meliputi kegiatan manajemen, perencanaan, dan monitoring pelaksanaan RME serta ketiga yaitu data mining.

Poentoro selanjutnya menjelaskan secara lebih detail terkait insfrastruktur yang perlu ada dalam tiga bagian rumah sakit. Dalam infrastruktur front office, rumah sakit dapat menggunakan antrian online berupa mobile JKN, mobile RS, website dan RME serta sudah menerapkan finger print. Dalam insfrastruktur ruang pelayanan, setidaknya terdapat perangkat komputer dan mobile yang mendukung penerapan RME. Kemudian adanya infrastruktur LIS dan PACS, infrastruktur pembayaran seperti cash less dengan QRIS dan virtual akun. Seluruh infrastruktur tersebut dapat berjalan dengan adanya dukungan SDM IT.

Sesi keempat mendiskusikan terkait Keamanan sistem informasi, Privasi, dan Kerahasiaan Data yang disampaikan oleh Ir. Tony Seno Hartono, M.I.Kom, selaku kompartemen data dan informasi PERSI dan IT/Cloud advocate. Ir. Tony Seno menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan RME, penggunaan PACS mampu meningkatkan efisiensi. Dijelaskan bahwa perlindungan data sangat penting sehingga harus memahami dasar dari filosofinya. Keamanan yang baik dalam rumah sakit harus proaktif dan reaktif dengan tiga prinsip utama yaitu kerahasiaan, integritas dan ketersediaan. Indonesia sendiri mewajibkan adanya DPO di dalam rumah sakit dan organisasi besar yang memproses data dalam skala yang besar.

Dalam penjelasannya, Ir. Tony Seno menyebutkan bahwa setidaknya rumah sakit dapat menerapkan IOT untuk mendorong moderinasi seperti sensor temperatur dan detak jantung. Namun, isu klasik yang sering ada di rumah sakit indonesia adalah tidak adanya biaya karena kebutuhan terkait IT yang cukup mahal. Sehingga karyawan atau staf IT perlu membuat strategi agar rumah sakit mampu memenuhi kebutuhan IT, yaitu dengan menyelaraskan kebutuhan IT dengan tujuan bisnis. Sehingga, apabila hal tersebut dapat menguntungkan pasien seperti adanya sistem informasi berdampak pada naiknya jumlah kunjungan pasien datan, maka rumah sakit dapat mengakomodir hal tersebut mengingat hal yang dibutuhkan oleh IT dapat mempermudah pelayanan kepada pasien.

Sesi terakhir kembali disampaikan oleh Dr. dr. Guardian Y Sanjaya, MhlthInfo terkait manajemen dan tata kelola SIMRS, kepemimpinan dan sumber daya manusia dalam penerapan sistem informasi manajemen rumah sakit. Dijelaskan bahwa dalam fase pre – implementasi hal yang penting adalah adanya dukungan dan keputusan bagian manajemen tingkat atas, pemimpim manajemen trasnformasi digital perlu memiliki kredibilitas organisasi dengan para klinisi, dan rumah sakit sendiri dipastikan harus siap dalam perubahan digital. Rumah sakit perlu melibatkan pemangku kepentingan dalam fase pre – implementasi ini, juga perlu memilik produk RME dengn cermat dan melakukan migrasi serta integrasi data. Kemudian pada fase implementasi, bagian IT rumah sakit perlu melakukan desain ulang RME agar sesuai dengan praktik klinis dan alur kerja dokter, melakukan pelatihan awal dan berkelanjutan dalam menggunakan RME. Rumah sakit juga dapat melibatkan pihak ketiga untuk membantu dalam pemecahan masalah atau trouble-shooting. Saat pelaksanaan, rumah sakit harus melakukan monitoring dan evaluasi berkelanjutan. Sedangkan dalam fase paska implementasi, rumah sakit perlu mengambil langkah untuk mengembangkan RME yang berkelanjutan, memberikan pelatihan dan umpan balik untuk penggunaan RME yang lebih baik dan adanya insentif.

Diskusi pasca-pemaparan materi membahas beberapa pertanyaan terkait penilaian DMI di rumah sakit, seperti manajemen SDM IT dan tata kelola rumah sakit guna mendukung penilaian DMI. Ir. Tony Seno menekankan pentingnya SDM IT yang paham akan RME dan SIMRS dalam rumah sakit guna melakukan integrasi data rumah sakit. Ditekankan juga bahwa petugas sistem informasi, progamer dan teknisi jaringan dalam rumah sakit berbeda dan tidak dapat dilakukan oleh satu orang. Sehingga disarankan agar dapat melakukan perekrutan CISO. dr. Guardian juga menekankan akan pentingya melakukan pengisian DMI sehingga rumah sakit dapat mengetahui skor kematangan DMI yang nantinya dapat mengambil langkah untuk meningkatkan skor kematangan DMI.

Acara diakhiri dengan sesi sesi post test dan penutupan. Diharapkan webinar ini dapat mendorong seluruh fasilitas pelayanan kesehatan untuk bersama – sama mendukung proses digitalisasi sistem informasi dalam pelayanan kesehatan.


Penyelenggara Acara: Sistem Informasi Kesehatan, Health Policy and Management, FK-KMK UGM

Reporter: Putri Ardhani

Reportase Diskusi Panel
“Pengelolaan Manajemen Proyek Sistem Informasi Kesehatan”

Senin, 2 Desember 2024 – Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK UGM) menggelar diskusi panel bertema “Pengelolaan Manajemen Proyek Sistem Informasi Kesehatan.” Acara yang diadakan secara daring melalui Zoom Meeting ini dihadiri oleh dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa S2 KMK, serta peserta Kuliah Terbuka Rekam Kesehatan Elektronik 2024 dan peserta umum.

Diskusi dibuka oleh Ibu Annisa R.R, yang memaparkan konsep dasar manajemen proyek, termasuk tantangan dan tahapan dalam pengelolaannya. Ia menjelaskan pentingnya integrasi lintas sektor dan pengelolaan aspek-aspek penting seperti ruang lingkup, waktu, pembiayaan, SDM, komunikasi, risiko, pengadaan, hingga pemangku kepentingan. Tahapan manajemen proyek meliputi initiating, planning, executing, monitoring and controlling, serta closing.

Bapak Sunandar Hariyanto dari FKKMK UGM membawakan materi Tata Kelola Proyek di Pemerintah menjelaskan mekanisme pengelolaan proyek di instansi pemerintah. Ia menyebutkan bahwa dokumen Kerangka Acuan Kerja (KAK) menjadi dasar pelaksanaan proyek, diikuti dengan pengadaan melalui LPSE atau e-katalog. Pelaksanaan proyek melibatkan koordinasi rutin dengan vendor, monitoring dan evaluasi berkala, hingga penyusunan dokumen Berita Acara Serah Terima (BAST) sebagai tanda penyelesaian proyek.

Dr. Dini Prasetyawati berbagi pengalaman tentang Pengelolaan Proyek Donor Internasional. Proses dimulai dari call for proposal hingga kontrak, dilanjutkan dengan kick-off meeting untuk menyelaraskan visi dengan donor. Tahapan berikutnya meliputi pengumpulan data primer dan sekunder, implementasi kegiatan, penyusunan laporan, hingga diseminasi hasil proyek. dr. Dini menekankan pentingnya jaringan (networking), mitigasi risiko, dan perencanaan keberlanjutan proyek.

Bapak Hendri Kurniawan P. dari S2 Ilmu Komputer FMIPA UGM memaparkan mengenai Manajemen Sumber Daya dalam Pengembangan Sistem, pengelolaan tim teknis menggunakan metode Agile. Proses pengembangan sistem informasi kesehatan melibatkan analisis kebutuhan, perancangan prototype, pengembangan, pengujian kualitas, hingga implementasi dan dukungan teknis. Pendekatan iteratif ini memungkinkan pengembangan sistem yang responsif terhadap kebutuhan pengguna.

Diskusi diakhiri dengan sesi tanya jawab. Peserta bertanya tentang mekanisme perubahan ruang lingkup kerja, strategi pengelolaan tim multidisiplin, dan penyusunan exit strategy. Pak Sunandar menyarankan penyesuaian timeline dan addendum jika terjadi perubahan lingkup kerja. Sementara itu, dr. Dini menekankan pentingnya kolaborasi dengan institusi pendidikan atau ahli dalam memenuhi persyaratan proyek. Pak Hendri menyarankan pertemuan rutin dan dialog aktif antara teknisi IT dan tenaga kesehatan untuk menyamakan persepsi.

Diskusi panel ini menyoroti pentingnya strategi yang tepat dalam pengelolaan proyek sistem informasi kesehatan. Pengelolaan tim yang efektif, mitigasi risiko, dan keberlanjutan proyek menjadi kunci keberhasilan implementasi. Dokumentasi dan publikasi hasil proyek juga dianggap krusial untuk mendorong diseminasi dan kerja sama lebih lanjut.

Acara ini memberikan wawasan berharga bagi peserta, terutama terkait pengelolaan proyek di bidang kesehatan dan teknologi informasi. Dokumentasi lengkap tersedia melalui tim reporter.Acara ini memberikan wawasan berharga bagi peserta, terutama terkait pengelolaan proyek di bidang kesehatan dan teknologi informasi baik dalam lingkup Nasional maupun Internasional.

Reporter:

1. Andini Prasetyawati

2. Putri Ardhani

3. Aninditya Ratnaningtyas

Reportase Seminar Rabuan
Advancing Digital Innovation for Health

Pada hari Rabu, 30 Oktober 2024, Program Studi Magister Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (SIMKES) bekerja sama dengan Angsana Health Malaysia dan Kanal FKKMK UGM menyelenggarakan seminar rutin yang mengusung tema Advancing Digital Innovation for Health. Seminar yang berlangsung pukul 10.00 WIB ini menghadirkan dua pembicara yang memaparkan berbagai perspektif terkait inovasi digital dalam bidang kesehatan, yang selaras dengan tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs), terutama pada poin ketiga, yakni memastikan kehidupan sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua orang di segala usia.

Sesi Pertama: Digital Innovations in Healthcare oleh Esther Chua

Pembicara pertama, Esther Chua dari Angsana Health Malaysia, menyampaikan materi bertajuk Digital Innovations in Healthcare – Lessons from Angsana Health’s Practical Solutions. Esther menjelaskan bahwa inovasi digital berperan penting dalam meningkatkan kesehatan populasi melalui kebijakan, sistem, dan layanan yang lebih mudah diakses. Salah satu contoh inovasi digital yang diusung dan dikembangkan oleh Angsana adalah Asynchronous Virtual DOTS (AV-DOTS), sebuah solusi untuk membantu pasien tuberculosis (TB) di Asia Tenggara agar lebih patuh dalam menjalani pengobatan.

Esther memaparkan bahwa TB merupakan tantangan besar dengan lebih dari 2,1 juta kasus baru di Asia Tenggara setiap tahunnya. Namun, hanya sekitar 47-95% pasien TB yang berhasil menyelesaikan pengobatan mereka. AV-DOTS diusulkan sebagai solusi untuk menggantikan metode Directly Observed Treatment Short-Course (DOTS) konvensional yang memerlukan kunjungan langsung pasien ke klinik. Angsana Health telah menjalankan pilot project AV-DOTS di beberapa klinik di Malaysia sejak Desember 2022, dengan hasil yang menjanjikan dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan hingga 60%.

Inovasi AV-DOTS memungkinkan pasien mengunggah video saat mengkonsumsi obat TB, yang kemudian ditinjau oleh pengamat Angsana dan dicatat dalam sistem lokal. AV-DOTS memiliki keunggulan karena lebih andal, hemat biaya, nyaman, dan seimbang untuk kebutuhan pasien. Selain itu, Esther menekankan pentingnya empat faktor pendorong adopsi inovasi, yaitu kemajuan teknologi, pengembangan kapasitas keterampilan, dukungan struktural-politik, serta pemahaman budaya yang baik.

Sesi Kedua: Kecerdasan Artifisial dalam Praktek Dokter Gigi oleh Drg. Achmad Zam Zam Aghasy, M.Kes

Pembicara kedua, Drg. Achmad Zam Zam Aghasy, M.Kes, membawakan materi mengenai penerapan kecerdasan artifisial (AI) dalam praktek dokter gigi melalui aplikasi Carigi Indonesia. Carigi adalah aplikasi manajemen klinik yang terintegrasi dengan sistem Satu Sehat, mendukung pemenuhan kebijakan Rekam Medis Elektronik (RME) yang terstandar. Aghasy menjelaskan pentingnya dokter gigi untuk memahami sistem ICD-10 untuk diagnosis, ICD-9 CM untuk tindakan, dan kode odontogram dalam mendukung dokumentasi RME.

Aghasy juga menguraikan tantangan yang dihadapi dalam penerapan RME, termasuk adaptasi dari sistem tulisan tangan ke digital serta kebutuhan pengelolaan waktu yang baik. Dalam konteks AI, teknologi ini dapat membantu dokter gigi dalam analisis risiko, penegakan diagnosis, dan penyusunan rencana perawatan berdasarkan kondisi pasien. Berbagai AI komersial seperti ChatGPT, Gemini, dan Claude telah mencapai akurasi yang tinggi dalam tes kedokteran gigi, memberikan nilai tambah dalam membantu tenaga medis. Inovasi ini mendukung agenda SDGs melalui peningkatan kualitas layanan kesehatan yang efisien, berkelanjutan, dan inklusif bagi semua masyarakat.

Di sisi lain, Aghasy menekankan bahwa penerapan AI harus mematuhi prinsip-prinsip etika seperti menjaga otonomi dan keamanan manusia, menjamin transparansi, serta menghormati hak privasi pasien. Data medis yang diunggah ke Carigi, seperti foto KTP, juga perlu dianonimkan untuk melindungi privasi pasien sesuai peraturan.

Pada sesi tanya jawab, peserta mengangkat berbagai topik, mulai dari kemungkinan penerapan AV-DOTS di Indonesia hingga kerangka kerja AI di Carigi. Salah satu pertanyaan menarik datang dari audiens yang menanyakan tentang kelayakan AV-DOTS di Indonesia, mengingat besarnya tantangan TB di negara ini. Aghasy menjelaskan bahwa AI di Carigi memberikan fleksibilitas bagi dokter gigi dalam memilih teknologi yang paling sesuai dengan kebutuhan klinis mereka.

Acara seminar ini diharapkan dapat memperkuat kolaborasi antara Indonesia dan Malaysia dalam bidang kesehatan digital, dengan harapan dapat mengembangkan Memorandum of Understanding (MoU) antara UGM dan Angsana Health di masa mendatang. Selain itu, pentingnya dukungan kebijakan yang jelas dan infrastruktur digital yang memadai, terutama terkait implementasi RME dan penggunaan AI di bidang kedokteran gigi. Dengan dukungan kebijakan, seperti peraturan RME yang terhubung dengan Satu Sehat, inovasi-inovasi ini dapat diadopsi secara lebih merata dan efektif. Adopsi AI di sektor kesehatan diharapkan terus memperhatikan aspek privasi data pasien serta prinsip-prinsip etis dalam teknologi kesehatan. Dengan adanya regulasi yang tepat, teknologi ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat tanpa mengabaikan hak-hak pasien.

Reporter: 

Andini Prasetyawati

Putri Ardhani

Aninditya Ratnaningtyas