AeHIN 2018: Integrasi dan Interoperabilitas Sistem Informasi Regional
Asia eHealth Information Network adalah asosiasi eHealth yang beranggotakan negara-negara Asia seperti Filipina, Thailand, Malaysia, Indonesia, Taiwan dan lainnya. AeHIN mengupayakan pertukaran pengalaman pemanfaatan eHealth suatu negara agar dapat diadopsi negara lain. Setiap tahun AeHIN menyelenggarakan general meeting yang mempergemukan stakeholder masing-masing negara (Kementrian Kesehatan dan Universitas) dengan berbagai donor, implementor dan technical agency untuk eHealth.
Tahun 2018 AeHIN diselenggarakan di Colombo Sri Lanka tanggal 7-9 Oktober 2018 dengan mengambil tema Digital Health. Dalam sambutannya, Dr. Anil Jasinghe, Direktorat Pelayanan Kesehatan Kementrian Kesehatan Sri Lanka, menyebutkan revolusi industri 4.0 memberikan dampak pada pelayanan kesehatan terutama berkaitan dengan pemanfaatan clinical decision support system, big data, data mining, dan artificial intellegence. Implementasi digital health menunjukkan penvalaman yang sukses di wilayah Asia. Sebagai contoh Sri Lanka memulai digital health sekitar 15 tahun yang lalu, hingga sekarang sudah ada tenaga khusus medical informatics di rumah sakit dan kementrian kesehatan melalui pendidikan spesialisasis bidang biomedical informatics di Universitas Colombo. AeHII sudah menjadi partner bagi Sri Lanka sejak pertama kali berdiri pada tahun 2017 untuk mengembangkan inovasi eHealth. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana eHealth dapat memberikan dampak positif bagi outcome pelayanan kesehatan dimana data kesehatan dapat dimanfaatkan secara optimal.
Dr. Razia Pendse dari WHO Sri Lanka menambahkan dengan berkembangnya eHealth tidak hanya memerlukan interoperabilitas data kesehatan dan infrastruktur pendukungnya, melainakn interoperabilitas sosial yang menyangkut proses bisnis, kebijakan kesehatan dan kapasitas sumber daya manusia. Pencapaian UHC menjadi salah satu dorongan interoperabilitas sistem informasi dan sosial, selain upaya-upaya pemanfaatan ICT untuk dalam meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan, pemberdayaan pasien untuk pemeliharaan kesehatan, manajemen tenaga kesehatan, supply chain, monitoring SDGs 3, dan bahkan menjadi penapis informasi kesehatan yang salah (hoax). WHO bekerjasama dengan lembaga lain berupaya untuk mengeksploitasi solusi digital health untuk sebaik-baiknya bagi masyarakat.
Susan Roth dari ADB dan Alvin Marcelo AeHIN menegaskan bahwa jejaring eHealth Asia dapat mempercepat implementasi inovasi eHealth melalui pertukaran pengalaman dan belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah dialami. Sekarang waktunya menempatkan inovasi eHealth untuk meningkatkan kesehatan individu dan harapannya berdampak pada tingkat sosial ekonomi masyakarat. Tiga strategi penting untuk meningkatkan eHealth 1).Standardisasi untuk mengoptimalkan peran digital health, 2).Tatakelola pengelolaan eHealth, serta 3).Perencanan yang baik untuk masa depan seiring dengan perubahan teknologi informasi dan komunikasi.
Bagaimana situasi eHealth di Indonesia? Digital health terjadi secara sporadis, tumpang tindih dan tidak terintegrasi. Desentralisasi di Indonesia juga berdampak pada desentralisasi inovasi TIK yang justru menyebabkan terfragmentasinya sistem informasi kesehatan dan information silo. Upaya integrasi dan interoperabilitas menjadi lebih sulit di tengah-tengah berjalannya sistem informasi di berbagai daerah dan fasilitas kesehatan. Implementasi eHealth yang dilakukan industri (vendor), pusat penelitian, donor, BPJS Kesehatan dan instansi pemerintah tanpa koordinasi dan acuan standard eHealth nasional memperparah fragmentasi sistem informasi kesehatan di Indonesia. Indonesia sangat memerlukan pengembangan standar data kesehatan sebagai upaya interoperabilitas sistem informasi. Indonesia dapat mempelajari berbagai solusi eHealth melalui jejaring AeHIN. Namun demikian, harus mengacu pada konteks dan situasi spesifik eHealth yang telah berjalan di indonesia. Berbagai solusi eHealth tersedia secara opensource, tetapi Indonesia tidak memiliki kelompok yang menguasai teknologi open source tersebut. Investasi terhadap penguasaan teknologi open source tidak tersedia atau tidak diupayakan. Walaupun 1-2 tahun terakhir, Kemenkes dan Universitas dibantu oleh Global Fund menginvestasikan capacity building penggunaan Open Source DHIS2 untuk manajemen informasi kesehatan. Di level nasional, kecendrungan untuk mengembangkan sistem sendiri dapat dilihat dari pengembangan aplikasi SIKDA Generik, SIMRS Go Open Source. Belum ada upaya untuk pengembangan standard dan upaya-upaya nasional untuk interoperabilitas sistem informasi kesehatan.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!