REPORTASE

Seminar Rabuan. Optimalisasi Rekam Medis Elektronik : Teknologi, Keamanan, dan AI untuk Pengambilan Keputusan Klinis

Pada Rabu, (21 Mei 2025), telah diselenggarakan Seminar Rabuan secara daring melalui Zoom dengan tema “Optimalisasi Rekam Medis Elektronik: Teknologi, Keamanan, dan AI untuk Pengambilan Keputusan Klinis”. Kegiatan ini mempertemukan para pakar di bidang kesehatan, teknologi informasi, dan kebijakan publik untuk mendiskusikan tantangan serta peluang penerapan teknologi mutakhir, seperti Artificial Intelligence (AI), dalam pengelolaan rekam medis elektronik (RME) guna meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Kegiatan ini dihadiri ±200 peserta. Kegiatan ini bekerjasama dengan FORKOMTIKNAS, Indonesia Association of Health Informatic (IAHAI)/PIKIN, dan Perhimpunan Profesional Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Indonesia (PORMIKI). Seminar ini dimoderatori oleh Dr. dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfo selaku Ketua Peminatan Sistem Informasi Kesehatan, Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM.

Acara ini dibuka oleh dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., Ph.D selaku Ketua Departemen, Ketua Program Studi Magister Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM, Dalam pembukaan ini beliau menyampaikan bahwa kegiatan ini sebagai momentum yang sangat tepat untuk mempercepat implementasi penerapan rekam medis elektronik yang harapannya bisa berdampak baik untuk clinical management ataupun operasional yang berkaitan dengan efisiensi dan efektifitas. Harapannya dengan memulai Rekam Medis Elektronik dapat menjadi EHR yang dapat bertukar antar fasilitas kesehatan dan mendukung continuum of care. Bahkan di luar fasilitas kesehatan juga dapat memfasilitasi  sebagai elektronik live record yang dapat mengikuti siklus hidup sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan. 

Dalam sesi pertama, Prof. dr. Hari Kusnanto Josef, Sp.KKLP, Dr.PH membahas peran Clinical Decision Support System (CDSS) dalam meningkatkan keselamatan pasien. Ia memaparkan bahwa CDSS mampu memberikan peringatan interaksi obat, pengingat imunisasi, hingga rekomendasi protokol tindakan, yang berkontribusi pada peningkatan efektivitas, efisiensi, dan keamanan layanan kesehatan. Prof. Hari menyoroti konsep Swiss Cheese Model dalam menjelaskan bagaimana kesalahan sistemik dapat terjadi, serta pentingnya budaya organisasi yang kolaboratif dan berorientasi pada pembelajaran. Ia juga memperkenalkan pendekatan High Reliability Organization dalam menjadikan rumah sakit tangguh dan adaptif.

Dr. Annisa Ristya Rahmanti, MS, PhD, seorang ahli dietetik dan peneliti teknologi kesehatan, mengupas lebih dalam pemanfaatan AI dan machine learning dalam RME. Menurutnya, evolusi data medis dari semi-terstruktur hingga terstruktur sangat penting untuk memaksimalkan potensi AI, khususnya melalui teknologi seperti natural language processing dan generative AI. Ia juga menyoroti tantangan seperti keterbatasan data lokal, kompleksitas bahasa, dan perlunya manual mapping dalam mengadopsi teknologi ini di Indonesia. Salah satu contoh inovatif adalah “Meal n’ ME,” sebuah aplikasi yang menggabungkan data demografi dan diet untuk melacak asupan kalori berdasarkan foto makanan pengguna.

Pembicara berikutnya, Yusuf Afandi, ST, menekankan pentingnya integrasi data dalam sistem informasi rumah sakit. Ia menjelaskan strategi pengelolaan data melalui clinical data repository dan data warehouse, yang memungkinkan analisis jalur klinis pasien secara real-time. Namun, ia juga mengakui bahwa pengembangan sistem ini memerlukan infrastruktur yang kompleks, pelatihan sumber daya manusia, dan pengolahan data dalam skala besar. Tantangan lain mencakup belum bakunya terminologi medis serta keterbatasan dalam kapasitas komputasi dan ketersediaan data pelatihan yang berkualitas.

Haidar Istiqlal, S.Kom, MARS dari Pusdatin Kemenkes, memaparkan urgensi digitalisasi RME melalui platform nasional SATUSEHAT. Ia menyampaikan bahwa interoperabilitas dan integrasi data merupakan kunci dalam transformasi digital kesehatan di Indonesia. Dengan protokol pertukaran data standar HL7 FHIR berbasis API, platform ini telah mencatat kemajuan signifikan, yakni lebih dari 50.000 fasilitas kesehatan telah terdaftar, dan puluhan ribu lainnya telah mulai mengirimkan data ke sistem nasional. Haidar menekankan bahwa keberhasilan adopsi RME sangat ditentukan oleh kesadaran tenaga medis dan pasien akan manfaatnya, serta kebutuhan akan regulasi dan kolaborasi lintas sektor untuk memastikan keberlanjutan sistem ini.

Sesi diskusi dalam seminar ini sangat dinamis. Para peserta menyampaikan beragam pertanyaan, mulai dari korelasi antara knowledge management, RME dan AI, hingga tantangan adopsi RME berbasis FAIR (Findable, Accessible, Interoperable, and Reusable) di Indonesia. Para pembicara secara umum menekankan pentingnya kolaborasi antara manusia dan teknologi, serta perlunya sumber daya, kebijakan yang mendukung, dan pendekatan berbasis kebutuhan lokal untuk mendorong transformasi digital yang efektif.

Seminar ini secara tidak langsung juga mendukung pencapaian beberapa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama: SDG 3: Good Health and Well-being, melalui peningkatan mutu layanan kesehatan berbasis teknologi; SDG 9: Industry, Innovation and Infrastructure, lewat pengembangan dan implementasi sistem teknologi kesehatan nasional; SDG 16: Peace, Justice and Strong Institutions, karena mendorong tata kelola data yang aman, transparan, dan akuntabel dalam sistem kesehatan; SDG 17: Partnerships for the Goals, yang terlihat dari pentingnya kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan tenaga kesehatan dalam mewujudkan sistem informasi kesehatan yang tangguh dan inklusif.

Kesimpulan apik dalam kegiatan ini disampaikan oleh dr. Guardian, bahwa kebutuhan untuk Rekam Medis Elektronik tidak cukup jika hanya sebagai cara untuk menggugurkan sebuah regulasi, karena ujungnya itu adalah patient safety atau meningkatkan outcome dari pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan. Meskipun demikian, dalam prosesnya perlu melibatkan banyak pihak atau penelitian-penelitian yang lebih lanjut apalagi jika kaitannya dengan AI, maka harus ada validasi sebelum digunakan langsung untuk pelayanan kesehatan. Teknologi itu adalah sebuah tools, dan tools itu butuh resource yang terus menerus tetapi pengambil keputusan terakhirnya adalah manusia. Tentunya Kemenkes terus mendorong fasilitas pelayanan kesehatan untuk menggunakan teknologi digital dengan beberapa fasilitas yang sudah disiapkan, misalnya dari satu sehat, konsep interoperabilitas, regulasi dalam ekosistem yang dibangun secara keseluruhan.

Melalui forum seperti Seminar Rabuan ini, Indonesia menunjukkan langkah nyata dalam mengintegrasikan teknologi canggih untuk memperkuat sistem kesehatan nasional, sekaligus berkontribusi pada agenda pembangunan global yang berkelanjutan.