Public Hearing – Pengawasan Peredaran Obat secara Online
Jakarta, 17 Oktober 2018
Perwakilan Perhimpunan Informatika Kedokteran dan Kesehatan Indonesia (PIKIN) yang dihadiri oleh Guardian Yoki Sanjaya, dari Fakultas Kedoktera, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, UGM, terlibat dalam public hearing kebijakan pengawasan peredaran obat secara daring (online) yang diselenggarakan oleh BPOM.
Pendahuluan
Beberapa pertimbangan terkait dengan peraturan peredaran obat secara daring karena telah banyak apotik online yang memfasilitasi e-Prescription, maraknya peredaran obat turunan narkotik dan psikotropik serta obat-obat yang dibatasi peredarannya dan berbahaya (Ex: Dextrometorphan), banyak obat beredar tanpa ada izin edar resmi Indonesia (obat yang didistribusikan di Negara lain), iklan obat yang berlebihan dan tidak sesuai (diskon, promo, harga miring), serta sebagai upaya perlindungan kepada masyarakat terhadap peredaran obat yang tidak benar. Penggunaan system daring sudah tidak dapat dicegah, sehingga pendekatannya adalah mengatur peredaran obat secara daring, yang saat ini banyak difasilitasi oleh marketplace online seperti Bukalapak, Tokopedia, Blibli dan lainnya. BPOM bertanggung jawab terhadap pencegahan, pengawasan dan penindakan praktik-praktik peredaran obat yang tidak benar. Beberapa upaya telah dilakukan, termasuk adanya Direktur Pengawasan, sub-direktorat intelligence yang melakukan pengawasan terhadap website yang mengarah pada peredaran obat.
Isi Regulasi
Rancangan kebijakan terdiri dari 3 isu utama, yang mengacu pada pengawasan obat secara konvensional, antara lain:
- Terkait sarana seperti adanya tempat fisik (apotik, toko obat) yang berizin dengan SDM yang terdaftar dan memiliki tanda registrasi/kompetensi.
- Terkait komoditi yang dijual merupakan produk yang memiliki izin edar resmi, tidak kadaluarsa, berlabel, bukan merupakan obat keras atau obat yang dilarang/dibatasi/ditarik peredarannya oleh BPOM, bukan golongan narkotik dan psikotropik)
- Terkait prasarana, khususnya system IT yang difasilitasi pihak ke-3 (marketplace) dapat menapis kata kunci-kata kunci obat yang dilarang diedarkan melalui system daring. Fasilitator market place dapat menambahkan berbagai filter untuk mencegah obat-obat berbahaya dan dilarang diperjual-belikan secara online. Selain itu, system intelegence dapat dikembangkan untuk mendeteksi adanya produk-produk black-market, iklan yang berlebihan.
Berbagai Pandangan Pengawasan Peredaran Obat Secara Daring
Pandangan Kominfo – Direktorat pengedalian aplikasi informatika – Kominfo memberikan beberapa fasilitas untuk menumbuhkan kegiatan ekonomi secara daring. Kominfo sebagai enabler/fasilitator gerakan daring dengan memperkuat aspek-aspek keamanan yang diperlukan, sebagai contoh memfasilitasi digital signature bersama Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), registrasi penyelenggara system elektronik, dan penutupan web-site dengan konten yang tidak sesuai baik yang sudah ditetapkan UU (pornografi, judi) maupun atas pemohonan pihak tertentu (Ex: BPOM mengusulkan ratusan iklan obat secara online untuk ditutup). Kominfo tidak dapat menutup konten website tanpa ada masukan dari sector lain yang menguasai konten tersebut, dan harus dilakukan secara resmi (surat resmi).
Pandangan Kementrian Kesehatan – Direktorat Farmalkes terhadap peredaran obat daring. Ada 2 peraturan yang sekarang dipersiapkan yaitu e-Farmasi dan e-Prescription. Terdapat beberapa aspek yang perlu diatur, yaitu terkait 1). Aspek Pelayanan Kefarmasian (Apotik, Rumah Saki, Faskes lain yang langsung melayani pasien) dan 2). Penyaluran kefarmasian (industry, PBF dan penyalur Alkes). Sehingga aspek legalitas menjadi penting, untuk memastikan kualifikasi dan validasi dari pelayanan maupun penyaluran yang dilakukan. Keberadaan sarana fisik mutlak ada karena berkaitan dengan penyimpanan, quality control. Sediaan yang dapat diperdagangkan secara daring juga dibatasi pada sediaan farmasi, alkes, suplemen kesehatan, obat tradisional. Toko obat tidak masuk di dalamnya. Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi (PSEF) merupakan istilah yang digunakan untuk system daring. PSEF harus berbadan hokum, berlokasi di Indonesia, didukung oleh SDM, sarana dan prasarana, terdapaftar secara resmi, menjual obat-obatan yang berizin resmi dan diperbolehkan.
Pandangan dari Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Sistem penjualan online memiliki resiko yang berbahaya bagi penggunanya karena mekanisme kontrolnya tidak dapat dipastikan. Pembeli dapat bertindak sebagai dokter, apoteker dan pasien sekaligus. Perlu ada mekanisme keamanan penjualan dan penggunaan obat di masyarakat
Pandangan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) – Bp. Tulus. Obat tidak boleh dijual dengan mudah secara online. Masyarakat Indonesia literasi digital-nya tinggi, tetapi literasi kesehatannya masih rendah. Sistem daring perlu didampingi dengan penguatan literasi kesehatan kepada masyarakat (community empowerment).
Pandangan Gabungan Perusahaan Farmasi (GP-Farmasi) Pak Heri Susanto. Praktik online sudah dilakukan sejak lama (umapamnya via telpon), merubah pola menjadi daring tidak jauh berbeda dengan pola yang sudah ada. Penjual harus memiliki izin resmi yang dapat dibuktikan dan bukan individual. Perlu ada channel komunikasi antara pasien dan apoteker sebagai bagian dari pelayanan penjualan daring. Pembatasan terhadap obat yang dijual menyesuaikan dengan peraturan BPOM yang ada.
Pandangan IPMG – Johnson and Johnson. Banyak obat yang beredar tidak terdaftar resmi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada iklan-iklan online yang ada. Beberapa diantaranya memberikan diskon fantastis yang diragukan keasliannya. Selain online trading, perlu diatur juga online advertising-nya sehingga tidak disalah-artikan oleh masyarakat.
Pandangan IDEA – Agnes. Online marketplace sudah berupaya untuk menambahkan filter kata kunci sebagai pembatas pencarian produk. Marketplace tidak dapat membatasi konten yang diisi oleh masing-masing pedagang online, tetapi dapat memfasilitasi filter terhadap kata kunci tertentu dalam pencarian, pengaduan, rating penjual dan pemberian komentar, mekanisme sengketa. Hal tersebut merupakan bagian dari pencegahan peredaran obat yang tidak benar. Namun demikian, filtering yang dilakukan harus dikembangkan secara dinamis.
Pandangan Asperindo (Asosiasi Penyedia Jasa Antar/Distribusi Indonesia). Penyedia jasa antar dapat melaporkan terhadap barang yang dikirimkan jika terlihat mencurigakan dan berbahaya. Namun demikian, banyak penyedia jasa antar justru tidak terdaftar di Asperindo.
Pandangan PIKIN – Guardian Y. Sanjaya. Praktek penggunaan system elektronik sudah dilakukan di fasilitas kesehatan secara tertutup. Maksudnya, system elektronik digunakan diantara pekerja professional saja yang memang terbukti dapat meningkatkan mutu dan keselamatan pasien. Rumah Sakit menggunakan e-Prescription untuk meresepkan obat, dan gudang farmasi menggunakan aplikasi eLogistik untuk memastikan ketepatan obat dan manajemen ketersediaan obat. PIKIN mendorong penggunaan system elektronik untuk pelayanan pasien. Pada kasus penjualan obat secara daring, pada obat-obat tertentu harus dapat mengidentifikasi beberapa hal berikut:
- Yang meresepkan obat adalah orang yang memiliki hak dan wewenang (dokter) yang dapat dibuktikan keabsahan wewenangnya (STR masih berlaku, tempat praktek jelas)
- Yang melayani obat adalah tempat dan orang yang memiliki hak dan wewenang (apoteker), dimana alamat fisik apotek terdaftar, memiliki izin resmi dan terakreditasi. Apoteker yang bekerja juga dapat dibuktikan dengan surat izin praktik yang masih berlaku.
- Obat yang diresepkan juga dapat dicek keabsahannnya melalui nomor izin edar yang resmi, tidak kadaluarsa, dan tidak bermasalah (ditarik), dan berbahaya (narkotik, psikotropik).
- Pasien yang menerima obat adalah benar-benar pasien dengan alamat yang jelas.
Dengan demikian, terdapat beberapa konsekuensi dari system penjualan obat daring ini (terutama penjualan obat yang berasal dari resep dokter), yaitu integrasi dari berbagai system yang sudah ada seperti pengecekan STR dokter dengan system di KKI, surat izin Apoteker dengan system di IAI, data obat yang resmi dengan BPOM, surat izin apotik ada di masing-masing Kabupaten/Kota atau dengan Kemenkes Farmalkes, sedangkan data pasien dapat dicross-check pada system Dukcapil Kemendagri. Masing-masing harus bisa saling terintegrasi secara aman agar proses-proses sesuai dengan penjualan secara konvensional.
Tantangan system daring
Berbagai tantangan penyelenggaraan peredaran obat secara daring, antara lain:
- Banyak penjualan dilakukan secara personal melalui social media seperti facebook, Instagram
- Bagaimana penjualan obat secara daring dapat dikaitkan dengan rasional penggunaan obat bagi pasien/konsumen yang membeli.
- Pembatasan penjualan obat secara online tidak hanya pada kategori narkotik dan psikotropik, tetapi perlu dikaitkan dengan resiko pengawasan (ex: pada obat Dextrometorphan).
- Tidak semua pihak dapat memantau ketat, karena wewenangnya sebatas pada fasilitator terselenggaranya praktek jual-beli secara daring (umpamanya Jasa antar, penyedia marketplace, Kominfo).
Usulan Pengawasan Peredaran Obat secara Daring
- BPOM dan Kementrian Kesehatan mensepakati standar data obat (database), dimana informasi obat dapat dilacak keabsahannya secara real time oleh berbagai pihak. Perusahaan Farmasi dapat membantu mengembangkan database obat nasional dengan mencantumkan barcode atau QR Code pada semua produk obatnya sehingga dapat dimanfaatkan untuk pelacakan dan pengecekan keaslian obat.
- Standar data obat perlu dikelola dan dipelihara agar mejadi satu-satunya acuan bagi pengembangan system informasi elektronik di Indonesia. Penggunaan standar data obat antara lain untuk e-prescription, penjualan obat secara daring, bukti klaim pelayanan kesehatan (asuransi kesehatan), pelaporan rutin ke Kementrian Kesehatan. Untuk itu, tenaga ahli dari berbagai disiplin (farmasi, TI, system informasi kesehatan dan praktisi) perlu dibentuk untuk mendorong terbentuknya standar data obat nasional.
- Berbagai system informasi elektronik telah digunakan di Fasilitas kesehatan (rumah sakit, klinik, puskesmas), salah satunya terkait e-Prescription. BPOM dan Kemenkes perlu mendorong implementasi e-Prescription dengan menggunakan standar data obat nasional yang memungkinkan adanya pertukaran data elektronik antar Fasilitas Kesehatan, BPJS Kesehatan, Pelaporan Rutin ke Dinas Kesehatan/Kementrian Kesehatan, serta Order Resep langsung dari Rumah Sakit/Klinik ke Apotek terdekat dalam rangka pelayanan pasien.
- Informasi obat dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat maupun fasilitas kesehatan sebagai bagian dari community empowerment untuk memastikan keaslian obat. Informasi obat dapat diperoleh dari database obat nasional yang menyediakan API (web-service) agar dapat diakses dari system lain. Umpamanya dengan aplikasi mobile, dapat melakukan scan ke QR Code di kemasan obat untuk mengecek keaslian obat, kadaluarsa dan harga eceran tertinggi obat.
- Pembatasan obat yang dapat dijual secara daring juga dimasukkan dalam system database obat nasional, sehingga masyarakat mampu menyaring iklan-iklan obat online yang tidak sesuai dengan inforomasi database obat nasional. Selain itu Marketplace juga dapat memanfaatkan informasi tersebut sebagai kata-kunci filtering system pencarian.
- Kemenkes – Dirjen Farmalkes menyediakan informasi harga eceran tertinggi obat sehingga dapat dinilai rasional harga jual pada sistem penjualan daring (konsumen tidak tertipu dengan harga yang terlalu tinggi atau sangat murah sekali).
- Bekerjasama dengan penyedia marketplace untuk memantau dan mengevaluasi produk-produk yang dijual dan dibeli masyarakat dengan pendekatan data mining. Marketplace (PSEF) juga menyediakan sarana komunikasi antara penjual dan pembeli.
- Membatasi siapa saja yang dapat menjadi penjual obat secara daring: haruslah memiliki sarana fisik yang memadai untuk penyimpanan obat, memiliki SDM yang kompeten untuk memfasilitasi konsultasi dan komunikasi dengan pembeli. IAI dapat berperan untuk membina apoteker yang melakukan penjualan obat secara daring.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!