APAMI 2018: Digitalisasi Kesehatan dan Revolusi Industri 4.0
Asia Pacific Association of Medical Informatics (APAMI) Conference
Colombo, Sri Lanka, 9-12 Oktober 2018
APAMI merupakan agenda rutin dua tahunan dimaan akademisi, praktisi dan peneliti informatika biomedis memaparkan hasil-hasil penelitian terkini bidang sistem informasi dan informatika kesehatan dan potensi kolaborasi antar pusat penelitian. Dalam kesempatan ini, Health Informatics Society Sri Lanka (HISSL) menjadi host APAMI 2018. HISSL didirikan tahun 1998 dan sekarang sudah menjadi salah satu bagian dari Asosiasi Kedokteran Sri Lanka (Di Indonesia sama dengan IDI). Prof. Vajira, seorang dokter ahli genetic dari Universitas Colombo menjadi Chair APAMI tahun 2018-2020 mendatang. Beliau termasuk salah satu yang mengembangkan pendidikan Master Informatika Kedokteran (dengan lulusan mencapai lebh dari 150 orang yang bekerja khusus untuk informatika kesehatan di Kementrian Kesehatan dan Rumah Sakit). Saat ini juga sudah dibuka spesialisasi Informatika Kedoktran (Medical Informatics) di Universitas Colombo Sri Lanka.
Prof. Chris Lehmann, seoarang dokter spesialis anak dan biomedical informatics di Vanderbilt University yang juga Presiden International Medical Informatics Association (IMIA) yang merupakan asosiasi global informatika biomedis menekankan pentingnya peran Informatika Biomedis. Pernyataan menarik dari Prof. Chris Lehmann,
“Manusia dan computer lebih baik dari pada manusia sendiri, komputer dengan manusia lebih baik dari komputer sendiri”
Manusia memiliki kelemahan, mudah terdistraksi dan sering melewati hal-hal detail dalam pelayanan kesehatan, yang dapat saja berdampak pada medical error. Salah satu yang paling banyak didiskusikan error yang berkaitan dengan medication order (resep yang tidak lengkap, penghitungan dosis yang tidak sesuai, kekurangan cairan), terutama pada pasien anak.
Membuat pelayanan kesehatan semakin aman menggunakan komputer sudah menjadi jiwa dari informatika biomedis, yang sekarang semakin berkembang dengan revolusi industri 4.0. Banyak inovasi penggunakan TIK mulai dari membuat order elektronik, smart documentation forms, clinical decision support systems (critique, warning and dashboard) dalam pelayanan kedokteran. 7 tahun evaluasi penggunaan peresepan elektronik salah satunya berdampak pada penurunan medication error yang sangat signifikan. Namun demikian, pengalaman menunjukkan bahwa membuat aman dengan komputer membutuhkan pendekatan personal dan pendekatan secara systems, tidak semata-mata pengembangan inovasinya.
Prof. James Batchelor, Director Clinical Informatics Research Unit, Faculty of Medicine dari University of Southampton menyampaikan bahwa teknologi Masa depan kesehatan pada revolusi industrial 4.0 dihadapkan pada era robotics (termasuk wearable device), Artificial Intelligence (AI) dan Big Data Analytics. Berbagai wearable technology digunakan dan dapat memproduksi data yang besar melalui berbagai sensor yang digunakan. Electronic Medical Record bukan merupakan barang baru yang kaya akan informasi klinis. Digitalisasi grafik dan gambar seperti sinyal EKG menambah kompleks sumber data kesehatan yang memerlukan pendekatan analisis khusus. Saat ini pendekatan Artificial Intelligence sudah dipakai untuk memprediksi kerusakan otak pada kasus cidera kepala, membantu diagnosa kanker kulit dan mencari obat-obat imunologi. Dalam hal tersebut, pendekatan big data dan analitiknya menjadi sangat diperlukan.
Berkembangan tersbeut tentunya seiring dengan arsitektur TIK yang semakin canggih. Secara fisik berbagai arsitektur TIK digunakan di fasilitas kesehatan, terhubung dengan internet (Internet of things), desain yang semakin ergonomis untuk memberikan pelayanan pasien, mengakses informasi pasien pada saat pelayanan, visitasi dan kemampuan memberikan pelayanan lebih efisien. Teknologi mobile juga sangat berkembang tidak hanya bagi tenaga medis, tetapi juga bagi pasien dalam berinteraksi dengan sistem kesehatan, mengakses data kesehatan dan berbagai kebutuhan lain (wellness, screening dan health education).
Permasalahan yang dihadapi juga berbeda dengan 10 atau 20 tahun yang lalu. Banyaknya data kesehatan yang dapat dihasilkan membutuhkan kemampuan analisis dan statistik yang bagus, termasuk data berbasis genomic. Teknologi selalu berkembang dan berganti yang mengharusnya sektor kesehatan selalu beradaptasi dengan berbagai teknologi baru tersebut. Munculnya masalah etika dalam penggunaan data set yang besar atau aksesibilitas pasien terhadap data kesehatan. Kolaborasi dengan pihak lain (vendor) juga memerlukan skema yang baik untuk keberlangsungan sistem informasi.
Setidaknya ada 3 hal yang dapat diambil pembelajaran dari pengalaman dari ke-3 paparan tersebut untuk Indonesia. Pertama, informatika biomedis sudah menjadi bidang khusus dengan pendidikan formal melekat pada pendidikan kedokteran dan kesehatan yang diselenggarakan di univeristas. Tenaga informatika biomedis bekerja di sektor formal yang memiliki jenjang karir yang sama dengan profesi kesehatan lainnya. Pengalaman di Sri Lanka menunjukkan peran tenaga informatika biomedis dalam mengembangkan, menerapkan sistem informasi di sektor kesehatan sangat penting. Kedua, pendekatan informaika biomedis diarahkan pada pelayanan klinis untuk mendukung mutu dan keselamatan pasien. Sistem informasi pada pelayanan kesehatan yang berfokus pada administrasi dan keuangan seharusnya juga diarahkan pada dukungan medis. Ketiga, teknologi yang selalu berubah menuntut sektor kesehatan untuk beradaptasi terhadap perkembangan tersebut. Kolaborasi lintas disiplin dalam pemanfaatan wearable device, big data analytic dan artificial intelligence dengan ilmu komputer, sistem informasi, robotic, teknik elektro, fisika, bioengineering dan berbagai ahli lain perlu dilibatkan dalam pengembangan informatika biomedis di Indonesia.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!