Usulan Pengembangan Laboratorium Interoprability

AeHIN Interoperability Meeting Manila 2015

AeHIN Interoperability Meeting Manila 2015

Salah satu agenda yang dibahas dalam pertemuan AeHIN Interoprability Meeting 24-26 Agustus 2015 di Manila Philippine adalah pengembangan laboratorium interoprabilitas. SIMKES menjadi salah satu peserta yang diundang untuk mempresentasikan ide pengembangan lab ini bersama Pusdatin Kemenkes (Andri Triadi) dan BPJS Kesehatan (Mustafa). Beberapa perwakilan Negara berkembang lainnya hadir dalam kegiatan ini antara lain Malaysia, Thailand, Sri Lanka, Bangladesh, Maldives, India dan tentunya Philippine sebagai tuan rumah. Pertemuan ini juga dihadiri narasumber OpenHIE, SNOMED-CT, PhilHealth, HL7, yang juga didukung oleh developing partner seperti ADB, WHO, UNICEF dan KOICA.

Dalam pertemuan yang singkat ini, sebuah framework interoperabilty dari OpenHIE didiskusikan dengan pertimbangan pendekatan open source yang dilakukan oleh OpenHIE memberikan peluang bagi Negara-negara berkembang untuk mengadopsinya. OpenHIE juga sudah diterapkan di salah satu Negara Afrika dan sejauh ini dapat dilaksanakan. Apa yang menarik dari OpenHIE? OpenHIE menerapkan konsep “broker” yang disebut interoperability layer dalam memfasilitasi komunikasi antar sistem yang berbeda. Semua query dan message akan dilempar ke interoperability layer dan diteruskan pada sistem lain sesuai dengan permintaan. Walaupun OpenHIE dapat menggunakan standar yang berbeda, tetapi sejauh ini struktur message yang diimplementasikan mengacu pada HL7 versi 3 (XML). Sedangkan standar terminologi dapat menggunakan manapun yang diadopsi oleh masing-masing Negara. OpenHIE juga merekomendasikan berbagai standar terminologi dikelola secara terpusat untuk memudahkan interoperabilitas antar sistem.

Beberapa rekomendasi standar yang perlu dikelola menurut OpenHIE antara lain:

  1. Client Registry (repository data pasien)
  2. Health Facility Registry (repository data fasilitas pelayanan kesehatan)
  3. Provider Registry (repository data tenaga penyedia layanan kesehatan yang juga digunakan untuk autentifikasi)
  4. Terminologi registry (standar data terminologi kesehatan yang digunakan secara nasional seperti ICD-10, ICD-9CM, ICD-O, SNOMED-CT dan lainnya)

Untuk pertukaran data yang lebih baik, OpenHIE juga merekomendasikan beberapa fasilitas terpusat lainnya, seperti:

  1. Shared Health Records (repository rekam medis pasien yang saling dipertukarkan, seperti discharge summary)
  2. Health Management Information Systems (repository output laporan yang umumnya data agregat, untuk kepentingan manajemen sistem informasi skala nasional).

Sistem informasi di fasilitas pelayanan kesehatan yang berbeda (Point of care applications seperti SIMRS, SIMPUS, SIMKlinik dan lain-lain) dapat berinteraksi melalui interoperability layer dengan sekaligus memanfaatkan repository standar yang ada.

Namun demikian, implementasi interoperabilitas tidak dapat dilakukan dengan segera, mengingat tidak semua requirement seperti yang disarankan OpenHIE tersedia di Negara-negara berkembang. Sebagai contoh di Indonesia, registrasi fasilitas kesehatan, penyedia layanan kesehatan belum dilakukan secara terpusat. Client Registry potensial adalah data kependudukan yang memang sudah dapat dimanfaatkan. Terminologi medis baru sebatas pada ICD-10 dan ICD-9CM dan belum mencakup terminologi untuk aktivitas pelayanan kesehatan lainnya seperti pemeriksaan penunjang medis, obat dan lainnya. Shared Health Records perlu waktu untuk dipersiapkan baik dari aspek infrastruktur, aspek legal, keamanan dan pastinya kesepakatan berbagai pihak. Sistem manajemen informasi kesehatan satu-satunya yang paling matur diantara kesiapan semuanya. Belum lagi kesiapan sistem informasi di fasilitas kesehatan untuk terinteroperable dalam lingkungan yang diusulkan oleh OpenHIE tersebut.

Lalu bagaimana? Laboratorium interoprabilitas kemudian diusulkan sebagai salah satu langkah awal untuk mencoba, mengembangkan, membuktikan dan mempromosikan interoprabilitas dalam skala kecil sebelum masuk pada tahapan implementasi yang lebih luas. Melalui Lab, sumber daya dan kebutuhan biaya dapat ditekan. IHTSDO sebagai pengelola SNOMED-CT memberikan kesempatan bagi peneliti untuk memanfaatkan SNOMED-CT secara gratis. Kepesertaan HL7 untuk konteks penelitian dan penggunaannya di dalam laboratorium juga tidak begitu membebani. Salah satu contoh menarik adalah laboratorium interoprabilitas di Mohawk College yang merupakan cikal-bakal OpenHIE dan sekarang menerapkan interoprabilitas di Negara Afrika dalam salah satu project Jembi Health Systems yang dilakukan. Pada awalnya Lab ini hanya terdiri dari 2 profesor dan 2 mahasiswa engineering yang melakukan penelitian interoperabilitas sampai pada akhirnya menghasilak konsep interoperabilitas terbuka (OpenHIE).

Apa yang menjadi kekuatan Laboratorium Interoprabilitas di Mohawk College? Salah satunya adalah karena posisinya yang berada pada zona aman (universitas) atau bersifat netral, tidak terikat pada vendor, terbuka serta memiliki posisi yang mudah untuk bekerjasama dengan pihak manapun secara transparan. Output dari aktivitasnya juga bersifat terbuka (public good) sehingga mendapat kepercayaan dari stekholder terkait. Karakteristik tatakelola seperti inilah yang diharapkan dari sebuah lab interoprabilitas.

Tentunya sebuah lab perlu didukung sumber daya yang memadai mulai dari fasilitas infrastruktur. Sumber daya manusia (SDM), Manajemen dan Pendanaan. Infrastruktur fisik yang diperlukan antara lain ruangan lab yang representatif, ICT equipment dan jaringan internet. Sumber daya manusia yang lebih banyak engineering (teknis) dan memiliki beberapa kompetensi teknis seperti programming, HL7 message, Web AP. Manajemen organisasi yang baik untuk mengelolala sumber daya dan mencari potensi pendanaan yang mencukupi untuk melakukan kegiatannya, serta menjalin jejaring dengan stakeholder penting seperti Kementrian Kesehatan, BPJS Kesehatan, Vendor dan lain sebagainya. Sebagai laboratorium, dana penelitian merupakan salah satu yang potensial untuk diperoleh.

Apa saja aktivitas dalam laboratorium ini? Secara umum 4T yaitu Tooling, Training, Testing and Teaming. Tooling berkaitan dengan software engineering untuk mempersiapkan interoperability layer. Termasuk salah satunya adalah mempersiapkan repository standar data, modifikasi sistem informasi fasilitas kesehatan yang umumnya open source, membuat document specification (reference model pertukaran data elektronik). Training berkaitan dengan peningkatan kapasitas internal (capacity building), maupun memperikan layanan pelatihan dan pendampingan (kepada vendor atau Faskes) jika HIE yang dimaksud sudah berjalan. Testing berkaitan dengan ujicoba implementasi, melakukan audit terhadap compliance interoprabilitas dari sebuah sistem informasi. Teaming berkaitan dengan tatakelola laboratorium, membangun jejaring yang bersifat netral, serta menyebarluaskan hasil dari kegiatan lab untuk public (knowledge management).

Dalam konteks Indonesia, pengembangan Lab Interoprabilitas sangat relevan. SIMKES akan mengupayakan terbentuknya Lab Interoprabilitas sebagai salah satu pendukung dalam penelitian, pendidikan dan pengabdian masyarakat untuk domain informatika kesehatan di Indonesia.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.