Dalam rangka kerjasama Fakultas Kedokteran UGM dengan Umeå University, SIMKES S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM menyelenggarakan Expert Lecture oleh Dr.Åsa Holmner Rocklöv (Umea University Hospital Sweden) pada Jumat, 6 Desember 2013 Pkl 10.00-11.00 WIB bertempat di R.302 Ged. IKM lt. 3 Fakultas Kedokteran UGM. Topik yang disampaikan adalah Telemedicine Application : Experiences from Swedish Healthcare.

Umeå

Bagaimana negara lain mengimplementasikan eHealth menjadi pembelajaran menarik dari pertemuan AeHIN tanggal 23-24 September lalu di Manila. Beberapa negara-negara Asia mempresentasikan inovasi eHealth yang mereka lalukan. Bisa jadi pembelajaran bagi pengembangan eHealth di Indonesia

Bangladesh. Dengan jumlah populasi 115 juta jiwa, Bangladesh melakukan lompatan besar adopsi IT yang dimulai tahun 2009. Dalam jangka waktu 2-3 tahun, Bangladesh telah membuat data center di kementrian kesehatan sebagai pooling data dari berbagai fasilitas kesehatan yang ada, menggunakan OpenMRS di rumah sakit, pencatatan sipil dan vital statistik secara elektronik (CRVS) yang dikombinasikan dengan National Unique ID. Untuk sistem pelaporan DHIS2 digunakan dari level pusat dampai daerah. Sama dengan negara-negara berkembang lainnya, Bangladesh masih kekurangan infrastruktur, kapasitas SDM yang masih lemah.

Kamboja. Kamboja termasuk baru dalam memeulai eHealth. Country’s HIS Strategic plan untuk tahun 2008-2015 sedang dalam proses pelaksanaan. Beberapa aktivitas penguatan sistem informasi antara lain penggunaan sistem berbasis elektronik (medical records, PMTCT, MDSR and health coverage database) serta membangun national unique ID dan CRVS yang dilakukan oleh Kementrian Dalam Negri Kamboja

Laos PDR. Dengan jumlah penduduk 6.5 juta jiwa, Laos menerapkan DHIS2 dengan web based reporting sistem. Kementrian Dalam Negri telah bekerja keras dalam membangun CRVS dimana beberapa propinsi menggunakan model family folder. Tergolong baru, Laos menghadai beberapa kendala seperti kurangnya sumber daya manusia, tatakleola, kerogranisasian dan manajemen eHealth yang masih lemah, ditambah dengan permasalahan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan yang berkualitas dan pembiayaan kesehatan.

Malaysia. Jumlah populasi 28 juta jiwa, Malaysia terdiri dari 60% pelayanan kesehatan pemerintah dan 40% swasta. Malaysia memiliki blue print health management information systems (HMIS) sejak tahun 1995/1996. Saat ini telah masuk pada penggunaan lifetime health records (LHR) yang didukung oleh national unique ID yang dipelihara oleh Kementrian Dalam Negri. Dalam bentuk fisik national ID malaysia menggunakan kartu dengan chip memory didalamnya sehingga dapat mengintegrasikan kebutuhan ID, kesehatan, surat izin mengemudi yang dapat diakses menggunakan card reader khusus. Interoperabilitas merupakan kunci penting dalam LHR. Malaysia telah membuat health data dictionary khusus (MyHDD)untuk mengarah pada elektronic health records. Interoperabilitas dapat dibuktikan dalam kegiatan Connecthaton dan kerjasama dengan pihak ketiga (vendor) yang menekankan penggunaan MyHDD.

Nepal. Jumlah penduduk sebanyak 26.4 juta jiwa dengan kondisi geografis yang bergunung-gunung membuat Nepal mengimplementasikan Telemedicine untuk 30 districts yang susah diakases. Beberapa kegiatan kecil lain termasuk membuat mHealth untuk program kesehatan ibu dan anak, surveilans dan CRVS.

Bhutan. Memiliki populasi 700.000 jiwa, Bhutan mengembangkan national HMIS untuk monitoring penyakit dan surveilans. Beberapa inovasi dilakukan terkait supply chain management untuk cakupan nasional, telemedicine dengan menekankan telekonsultasi pada 14 area pilot dan electronic data transfer dari medical devices. Sistem informasi rumah sakit baru tahap awal implementasi, terutama di rumah sakit nasional.

Vietnam. Vietnam baru bergerak dalam mendesain eHealth nasional. Saat ini masih pada tahap advokasi pemerintah pusat untuk mendapatkan komitmen nasional, dukungan finansial, pengembangan infrastruktur dan penggunaan standar data melalui National Medical Database. Prioritas Vietnam sekarang adalah pembuatan eHealth strategy, adopsi standard, legal framework dan health data center.

Thailand. Thailand telah masuk pada tahapan interoperabilitas dengan mengacu pada beberapa standard seperti SNOMED-CT, HL7 Clinical Document Architecture (CDA) dan beberapa standar yang dikembangkan secara mandiri (National drug standard). CRVS telah berjalan baik di Thailand yang telah dibangun sejak tahun 60an dimulai dari National Unique ID. Sekarang prioritas Thailand adalah memperkuat kapasitas SDM dengan memasukkan pendidikan formal biomedical and health informatics progra (Diploma dan MSc) serta program sertifikasi untuk CIO.

Filipina. Beberapa inovasi di Filipina menekankan pada komite standar data kesehatan. Filipina juga sudah membangun Health Data Dictionary. Secara nasional beberapa registrasi penyakit telah dilakukan antara lain penyakit kronis, registrasi kecelakaan dan registrasi kecacatan.

Korea. Korea mulai membangun sistem kesehatan nasional sejak tahun 1977. National health information systems dikembangkan sejak tahun 1990 dengan 10 tahun strategic plan. 2 badan pemerintah mendukung UHC yaitu HIRA and NHIS. NHIS ditunjuk menjadi sebagai single national insurance pada tahun 2000 yang menggabungkan dari 400 lebih skema jaminan kesehatan yang ada. NHIS mengelola kurang lebih 1.5 miliar klaim per tahun baik rawat jalan maupun rawat inap. Di Korea 90% fasilitas kesehatan swasta. Namun demikian justru menjadi keuntungan sendiri karena fasilitas swasta mayoritas penggunaan IT sangat kuat. Pemerintah hanya memberikan incentif pada rumah sakit yang dapat mengirimkan klaim secara elektronik. Sekarang sudah 100% rumah sakit melakukan klaim secara elektronik. Selain data klaim yang dikirim secara elektronik, beberapa data lain untuk peresepan elektronik sudah dilakukan dan bahkan memasukkan clinical decision support systems (CDSS) untuk mekanisme alert/reminder untuk multiple drug prescription. CDSS juga dikembangkan untuk pemeriksaan penunjang sehingga dapat mencegah terhadap duplikasi pemeriksaan. Selanjutnya Korea akan menerapkan mobile technology untuk pelayanan kesehatan seperti menulis resep, melihat gambar radiologi.

Tanggal 11 September 2013 telah dilakukan penandatanganan MoU antara Pusdatin Kemenkes dengan 4 universitas sebagai center of excellence sistem informasi kesehatan di Indonesia. Setelah SIMKES menginisiasi program pelatihan SIK tahun 2011 yang berkolaborasi dengan Pusdatin dan GIZ (Germany-based International Cooperation), tahun ini program pelatihan tersebut direplikasi di 4 universitas lain di Indonesia. Universitas tersebut antara lain Universitas Cenderawasih Papua, Universitas Hasanudin Makasar, Universitas Sam Ratulangi Manado dan Universitas Mulawarman Kalimantan Timur.

Pengembangan CoE yang didukung dana Global Fund HSS bertujuan untuk memberikan stimulasi penguatan kapasitas universitas lokal terkait sistem informasi kesehatan. Selain itu CoE juga dapat menjadi partner Kementrian Kesehatan, khususnya Pusdatin dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang menguasai dan siap menjalankan fungsi sistem informasi di institusi kesehatan seperti Dinas Kesehatan, Puskesmas dan Rumah Sakit. SIMKES UGM yang sudah terlebih dahulu menjadi CoE SIK telah mengembangkan kompetensi dan kurikulum tenaga SIK yang dapat diadopsi, dimodifikasi dan dikembangkan lebih lanjut bagi universitas lain. Modul, materi dan referensi yang digunakan dalam pelatihan SIK sebelumnya dapat diakses secara terbuka melalui link berikut Program Pelatihan Tenaga SIK, dimana CoE lain maupun masyarakat luas dapat mempelajari secara mandiri.

Perwakilan Indonesia yang mengikuti workshop IT4UHC Thailand

Dalam persiapannya, UHC juga perlu mempertimbangkan pemanfaatan IT untuk operasional, manaemen informasi dan pendukung keputusan. Dalam rekomendasi JLN (Joint Learning Network) juga disebutkan IT merupakan functinal requrement untuk operasional UHC. Bagaimana tidak, berbagai aktivitas dalam core business UHC sangat memerlukan sistem yang berbasis komputer. Contoh sederhana adalah kepesertaan dan skema asuransi yang dimiliki oleh setiap peserta, klaim rumah sakit terhadap pelayanan yang diberikan, penghitungan premi asuransi secara kapitasi berdasarkan beban pelayanan kesehatan serta proses monitoring dan evaluasi pelaksanaan UHC. Semua aktivitas tersebut memerlukan alat bantu berupa teknologi informasi dan komunikasi agar lebih efektif dan efisiensi.

Read more

Skema core business divisi IT National Health Security Office Thailand

Dalam salah satu sesi workshop Exchange and Study Program on UHC and information systems to support UHC yang diselenggarakan oleh International Health Policy Program (IHPP) yang bekerjasama dengan National Health Security Office (NHSO – Sebuah badan penyelenggara asuransi kesehatan semesta di Thailand) tanggal 19-23 Agustus 2013, salah satu narasumber Ms. Netnapis Suchonwanich menyebutkan bahwa teknologi informasi dan komunikasi (ICT) merupakan pendukung penting keberhasilan UHC. Lebih dari 1.200 rumah sakit, 8.000 primary health centers, 77 provinsi dan 13 kantor cabang terhubung dengan database NHSO melalui jaringan internet, yang digunakan untuk mendukung pelayanan UHC, mulai dari pengecekan skema dan kelayakan kepesertaan jaminan kesehatan untuk pasien yang berkunjung, melakukan klaim secara elektronik sampai layanan pengaduan pelanggan (customer service).

Read more